Kamis, 04 November 2021

Kisah Sang Anak Rantau




"Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup di negeri asing (di negeri orang)” -  Imam Asy-Syafii

     Syair sekaligus motivasi dalam hidupku saat awal kuliah menginjakan kaki untuk pertama kali di kota dingin Malang ini. Kehidupan merantau untuk pertama kalinya dalam hidupku, jauh dari sanak keluarga dan orangtua karena merantau akan memberikan banyak pengalaman hidup. 
Menjadi seorang anak rantau, berjalan di negeri orang, tiada sanak saudara, hanya teman sebagai andalan. Merantau mengajarkan bahwa kita harus tetap kuat bertahan bersama tekad yang kuat dengan pendirian yang kokoh, dengan kita apa yang sudah dikeluarkan adalah bukti dari perjuangan. Begitulah nasib sebagian orang yang hidup merantau, terutama diriku pada saat itu. Kuberjalan kesana kemari, hanya untuk mencari setitik ilmu. Hanya bisa mengingatkan kata-kata terakhir orangtua yang memberikan motivasi untukku dalam membentuk “kesabaran” dalam hati agar diriku bisa menerima keadaan hidup di tanah perantauan, walau terkadang keadaan tidak seperti yang kuinginkan, tapi itulah yang harus dijalani demi menuntut ilmu. Terlebih lagi, diriku anak bungsu dari tiga belas bersaudara, dimana identik anak bungsu adalah sosok anak yang manja dan tidak mandiri. Tapi kupatahkan opini tersebut, kubuktikan kepada keluarga bahwa jauh dari orangtua, sanak saudara, bisa menjadi sosok yang bertanggung jawab, dewasa, mandiri dan tentu saja bisa menjaga nama baik keluarga serta mengharumkan nama keluarga dengan prestasi-prestasi yang kuperoleh selama hidup merantau menuntut ilmu.
Pertama kali merantau, saya tinggal pertama kali di Kota Malang di Asrama Putri Universitas Negeri Malang (UM). Mengenal nama Asrama itu bermula dari awal masuk registrasi pendaftaran sebagai mahasiswi baru. Yang belum mengenal sama sekali wilayah atau daerah Malang. Dengan sosok diriku yang  masih polos dan lugu saat itu, berusaha memberanikan diri bertanya kepada orang yang sama dengan saya pada saat itu melakukan registrasi, hanya saja dia berasal dari Malang. Kemudian orang tersebut menginfokan kepada saya, bahwa di UM ada Asrama untuk bisa ditempati sebagai pemondokan. 

       Setelah selesai melakukan registrasi mahasiswi baru, saya pun berjalan menyusuri kampus UM yang luar biasa luasnya lahan kampusnya. Sambil sesekali bertanya kepada orang yang saya temui, dimana letak lokasi Asrama UM tersebut dan akhirnya saya menemukan Asrama UM. Awalnya saya sempat ragu untuk menginjakan kaki di Asrama karena terbesit di dalam pikiran, apakah tempat tinggal yang akan saya tempati ini bergabung antara pria dan wanita, dan ternyata terpisah tempat tinggalnya, ada Asrama khusus untuk mahasiswa dan mahasiswi sendiri atau yang dikenal dengan sebutan “Astra” singkatan dari Asrama Putra dan “Astri” singkatan dari Asrama Putri. 
Niat awal tinggal di Asrama sebenarnya hanya sebentar saja selama mengikuti Masa Orientasi Mahasiswa/i Baru (Ospek). Namun selama berapa hari tinggal di Astri, merubah pemikiran menjadi niat untuk tinggal menetap lebih lama lagi, selain pada saat itu tidak menemukan tempat tinggal (kost) yang sesuai dengan keinginan karena belum mengenal wilayah Kota Malang. Karena pertama kali tinggal di Asrama Putri (Astri), ada kehangatan yang dirasakan, apalagi bagi warga perantau dari luar Pulau Jawa. Pertama kali pun datang, disambut ramah oleh Ibu pembina dan pengurus Asrama Putri yang merupakan dari mahasiswi-mahasiswi UM juga yang menetap disana. 
Pertama kali tinggal di Astri, satu kamar berempat penghuninya karena pada waktu itu banyak peminat yang ingin tinggal menginap selama Ospek. Setelah selesai Ospek, diriku memberanikan diri untuk mendaftar menjadi warga Asrama.   
         
       Serangkaian prosedur dilewati termasuk dengan wawancara yang dilakukan jika lolos seleksi adminitrasi. Pada zaman dulu, masuk asrama sangat ketat karena opini sebagian orang, penghuni warga Asrama biasanya identik orang-orang yang sangat aktif di dunia kampus atau organisatoris, hampir di semua limit organisasi kampus baik itu di senat, jurusan, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan kegiatan organisasi non kampus pun kebanyakan dikuti oleh warga Asrama. Bermula dari Astri inilah, jiwa organisatoris muncul di diriku. Kebetulan pada saat itu, saya sekamar dengan kakak senior yang memang suka berorganisasi. Sehingga lambat laun, mulai tertanam secara perlahan menyukai organisasi dan  muncul rasa percaya diri untuk bisa berbicara di depan umum, yang sebelumnya sangat pemalu jika berbicara di depan khalayak umum. Selama di Asrama, sudah menjadi langganan menjadi pembawa acara (MC) di setiap kegiatan-kegiatan yang diadakan di Asrama dan hal tersebut juga menular di luar Astri, di kampus pun sering dipakai menjadi MC dan bahkan terkadang menjadi MC di acara hajatan. 

      Di semester pertama perkuliahan adalah awal babak baru kumulai menjalani kehidupan tinggal di Asrama, pertama kali teman sekamarku adalah Mba Nur Komalasari atau yang biasa dipanggil Mba Nunung, sosok yang awal mulanya kesannya sangat serius karena kebetulan beliu jurusan Kimia, sedangkan saya adalah jurusan Teknologi Pendidikan (TEP) dan rekan sekamar saya yang lain adalah Erika dari Jurusan Sejarah. Kami bertiga sangat kompak pada waktu itu, saling mengisi satu sama lain, khususnya mba Nunung yang dewasa sekali bisa merangkul adik-adiknya sekamarnya, walau jauh di perantauan, tapi seperti merasa punya saudara walau tidak ada ikatan darahnya. Di Astri inilah, terbetuk kepekaan sosial, dimana kita dilatih untuk saling berbagi dan berempati, belajar banyak bagaimana “bijak” memahami orang lain. Yang sebelumnya tinggal dikamar sendirian, sekarang bertiga dalam satu kamar dan tempat tinggal baru yang masih asing, perlu beradapatasi lagi dengan perubahan yang ada. Tapi seiring waktu rasa ketidaknyaman itu mulai pudar, bersyukur sekali memliki teman sekamar yang sama-sama satu “rasa”. 

        Di tahun pertama ini pula menetap di Astri, diriku mulai mencari jati diri, bertemu dengan teman-teman yang berbeda suku, bahasa dan kepribadian. Ada yang berasal dari Jawa pada umumnya, Madura, Lombok dan juga Kalimantan seperti diriku. Namun, kami bisa saling membaur, saling mengerti satu sama lain dengan segala perbedaan yang ada. Khususnya diriku, yang terkendala oleh bahasa karena pada umumnya teman-teman pada saat itu menggunakan bahasa Jawa kesehariannya, tapi seiring waktu, diriku pun mulai mempelajari bahasa Jawa, sehingga mulai bisa berkomunikasi dengan lancar dengan teman-teman di Asrama. Ada satu moment yang tidak bisa terlupakan, yaitu pada saat Pengajian Bulanan, dimana kita diajarkan belajar Kitab. Kitab yang diajarkan pada saat itu yaitu belajar “Kitab kuning” selepas sholat Magrib berjama’ah. Pada saat pembacaan kitab, ukhti/ikhwan yang bergilir membacakan kitab tersebut menggunakan bahasa Jawa halus. Bagi saya yang belum mengetahui banyak pembedaharaan kosa kata bahasa Jawa tentu mengalami kesulitan sendiri, tapi bersyukur pada saat itu memiliki teman-teman yang mau “berbagi” menterjemahkan kembali ke Bahasa Indonesia, sehingga akhirnya saya pun mulai paham yang dibahas di pengajian bulanan tersebut. Dan hampir setiap bulan saya lewati, selalu ada peterjemah yang baik di samping saya sehingga bisa mengikuti pengajian dengan baik, hingga akhirnya saya pun mulai bisa mengetahui perbedaan bahasa Jawa halus dan Jawa bahasa ngoko (kasar). 

      Kehidupan di Asrama bisa dikatakan hampir mirip seperti kehidupan di Pondok Pesantren, dimana regeliusnya sangat tinggi. Dimana kami diwajibkan untuk mengikuti sholat berjamaaah setiap harinya, khususnya sholat Magrib dan sholat Subuh serta  mengikuti pengajian setelah abis sholat Magrib, dimana masing-masing kamar akan melakukan presentasi membawakan materi pengajian. Disinilah dibentuk rasa percaya diri atau public speaking,  bagaimana kita dilatih untuk bisa berbicara dengan baik didepan orang banyak. Bagi yang memiliki rasa malu atau tidak percaya diri pasti akan mengalami kesulitan diawal-awalnya, seperti yang terjadi dengan diriku. Tapi akhirnya mulai tumbuh rasa percaya diri itu, sehingga mulai berani berbicara didepan orang banyak walau itu hanya di lingkungan Astri. Di Asrama pun juga memiliki banyak peraturan yang tegas dan disiplin, jika melanggar dan masuk dalam Black Box atau kotak hitam, kami menyebutknya seperti itu. Jika melanggar, maka akan diberi hukuman, dari sangsi kecil seperti harus menghapalkan surah di Al-Quran dan dibacakan di depan orang banyak pada saat pengajian dan juga sangsi paling berat yaitu dikeluarkan dari Asrama. Namun, peraturan tersebut dibuat menuntut warga Asrama untuk menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan terampil dalam berkreasi dan berinovasi.  

       Di Asrama kita di gembleng untuk memiliki mental yang kuat dan memiliki jiwa Leadership (kepimpinan), hampir tiap bulan selalu diadakan kegiatan seminar atau pelatihan, baik itu hanya tingkat Asrama, Universitas dan bahkan Nasional. Sehingga, banyak alumi dari Asrama menjadi seorang organisatoris atau aktitifis di kampus, dan setelah lulus dari UM pun, banyak para aluminya menjadi tokoh-tokoh masyarakat. Hal itu dikarenakan, sudah terbina dengan baik jiwa kepimpinannya.

        Kehidupan di Asrama, membuatku    menemukan teman “rasa saudara”, padahal tidak memiliki ikatan darah tapi bisa akrab melebihi saudara sendiri. Diriku memiliki sahabat selama tinggal di Astri. Bertemu sahabat yang sama-sama menyukai tulisan. Bermula menang mengikuti lomba Bedah Buku di tingkat Asrama, kemudian akhirnya dipercaya menjadi salah satu PRTA (Pengurus Rumah Tangga Asrama) di bagian Seksi Mading. Persahabatan itu pun terus terjalin baik,  walau sudah lulus di bangku kuliah.

      Kehidupan di Asrama menjadi sangatlah berarti ketika kita dapat menyelaraskan keinginan dengan peraturan yang berlaku, bukan menyelaraskan peraturan dengan keinginan kita. Sebab di mana bumi di pijak, disitu langit di junjung. Dan sebaik apa pun tempat tinggal kita, bila hidup tidak dilandasi Iman kepada-Nya, semua akan sia-sia. Peraturan dan kedisplinan seratus persen bisa mengubah perilaku dan gaya hidup. Tapi untuk menerima perubahan itu, seratus persen pula kembali pada diri kita sendiri.  













Tidak ada komentar:

Puisi IKN Oleh Linda Haryati

Membiru Langitku di IKN Oleh Linda Haryati Selangkah demi selangkah Jejak langkah kutinggalkan Menampak jejak yang terpatri Di langit biru N...