Kamis, 04 November 2021

Sekolahku Rumahku Kedua




        Dalam kehidupan selalu ada “Pilihan” dalam hidup. Sama halnya yang terjadi dalam hidupku. Ketika aku harus memilih antara menjadi seorang “Wanita” seutuhnya, karir dan mencapai impian. Tepatnya dua belas belas tahun yang lalu, tepatnya di bulan Maret ini adalah bulan yang penuh makna karena bulan inilah suatu momentum yang terjadi dalam hidupku . Bulan di mana aku terlahir di dunia ini, dan juga bulan kelahiran ibunda tercintaku  yaitu sosok perempuan yang “kuat” yang sangat menginspirasi dan penyemangat dalam hidupku.  Dan bulan momentum yang mengubah jalan hidupku hingga saat ini. Tepatnya di  bulan Maret 2006. Kuputuskan untuk menjadi seorang “Guru”, karena sebelumnya tidak pernah terlintas dibenakku bercita-cita menjadi guru karena diriku adalah tipikal orang yang sukanya bekerja di belakang layar, tidak berhadapan dengan orang banyak.
        Apalagi jika menjadi seorang guru, bukanlah pekerjaan yang mudah karena yang dihadapi adalah ‘benda hidup” yakni manusia, beda jika bekerja di kantoran baik  struktural ataupun swasta. Yang dihadapi “Benda mati”, jadi resiko-resiko dalam bekerja tidak seberat jika berhadapan dengan benda hidup, dalam arti kiasannya atau manusia. Seperti tugas menjadi guru wali kelas, dimana terkadang kita memutuskan anak wali kita, apakah dia di naikkan kelas atau di luluskan. Jika, kita salah ataupun keliru dalam memutuskan atau memilih kebijakan, akan berdampak fatal bagi si anak. Oleh karena itu, bagikku sosok guru adalah pekerjaan beresiko tinggi dan tidaklah mudah menjadi guru, walau terkadang profesi menjadi guru dipandang sebelah mata bagi sebagian orang di negeri ini ( . Berbeda sekali jika dibandingkan dengan negara lain baik dari segi kesejateraannya dan juga perlakuan khusus bagi “Ibu pekerjaan” yang baru melahirkan atau menyusui lebih dihargai dan diprioritaskan.

       Menjadi seorang guru, tidaklah mudah karena kita terkadang di hadapi dengan keputusan-keputusan yang terkadang menguras tenaga, pikiran dan emosi. Seperti yang pernah kualami, ketika aku membuat kebijakan dalam hal ini memutuskan seseorang untuk naik kelas atau tidak. Dan itu bagi sebagian orang, itu adalah hal yang biasa atau mudah. Sedangkan bagi diriku yang “sensitif dan pemikir” ini, sangat berat dan menguras pikiran dan emosional, sehingga terkadang membuatku mengalami tekanan atau stress dalam menghadapinya. Oleh karena itu, ketika diriku memutuskan menjadi seorang “Guru” bagiku adalah adalah keputusan yang “Besar”. 

        Selain itu ada alasan lain juga yang mendasari kenapa diriku, memutuskan menjadi seorang guru dan berhenti bekerja di perusahaan swasta di mana pendapatan yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan bekerja menjadi guru. Namun, hal itu aku tinggalkan ketika aku harus memilih antara karir, anak atau keluarga. Karena pada saat itu, aku sudah memiliki seorang anak, di mana pada saat itu, perusahaan tempat aku bekerja, tidak memperbolehkan untuk membawa anak dalam bekerja. Akhirnya, aku memilih untuk berhenti bekerja, menjadi  ibu rumah tangga seutuhnya. Karena pada dasarnya hakikat seorang “wanita” itu adalah menjadi “Istri dan Ibu” bagi keluarga dan anak-anaknya. Namun, seiring waktu karena pada dasarnya diriku seorang pekerja keras, yang tidak biasa tinggal diam di rumah, dan juga faktor ekonomi yang menuntut diriku untuk mencari tambahan penghasilan untuk keluarga, akhirnya diriku memilih bekerja kembali, setelah mendapat nasehat dari orang tuaku yakni Ibundaku tercintaku, sosok perempuan yang kuat dan tangguh, karena beliu bisa menghidupi anak-anaknya  yang berjumlah sebelas orang, tanpa ada suami yang mendampingi selama tiga dua puluh tahun lamanya, sepeninggal bapak yang sudah terlebih dahulu di panggil Sang Khalik. Oleh karena itu, beliu selalu menasehati anak-anaknya khusunya anak-anak perempuanya, agar menjadi seorang “perempuan yang kuat” tahan banting, dan itu slalu beliu katakan. Jangan menjadi seorang perempuan yang bermental krupuk, ketika kena air atau angin langsung melempem atau ciut. Satu nasehat terakhir beliu, sebelum beliu pergi untuk selama-lamanya. Beliu berpesan  kepadaku, “ Jadilah seorang perempuan yang kuat dan mandiri, jangan selalu tergantung dengan orang lain atau suami karena Hidup tidak selalu Indah, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya nanti”  Nasehat itulah yang akhirnya membuatku “kembali” lagi memutuskan untuk termotivasi untuk bekerja kembali. 
 
      Namun, banyak pertimbangan pada saat itu ketika aku harus memilih pekerjaan karena pada saat itu, aku sudah memiliki seorang putra yang masih kecil, masih Batita. Jadi, banyak sekali pertimbangan sebelum memutuskan untuk bekerja kembali.  Akhirnya setelah berdiskusi dengan suami, ibu dan saudara, akhirnya kuputuskan menjadi seorang “Guru” karena pekerjaan tersebut tidak terlalu menyita waktu yang banyak, jika dibandingkan jika bekerja di sektor swasta. Masih banyak waktu tersisa untuk berkumpul dengan keluarga karena terkadang bekerjaanya tidak sampai seharian seperti jam kerjanya swasta yang kadang sampai malam pun tetap bekerja karena lembur. Berbeda dengan profesi seorang guru. Untuk itulah, diriku memutuskan bekerja menjadi seorang guru. Dan berbersyukur sekali, ada tambahan bonusnya, yaitu diijinkan bekerja membawa anak ke tempat kerja. Seperti yang ku alami pada saat dulu, tepatnya dua belas tahun yang lalu, diriku kembali bekerja menjadi seorang guru di Sekolah Dasar (SD), dimana pada waktu itu, aku sudah memiliki seorang anak, yakni seorang putra yang berusia delapan belas bulan, ketika anakku mulai lincah berjalan sendiri, saat itulah, aku memutuskan membawa anak ke tempat kerja sampai dia berusia lima tahun, dan selalu setia medampingi ibundanya untuk bekerja. Dan terkadang bekerjanya dari pagi sampai sore. 
Syukur alhamdulillah  pada saat itu, ketika bekerja menjadi guru, baik pimpinan, maupun rekan kerja yakni bapak dan ibu guru yang lainnya sangat pengertian dan mendukung saja saya membawa anak ke sekolah, ke tempat kerja. Mengajar sambil menjaga anak kandung sendiri.  Khusunya pimpinan  tempatku bekerja yaitu ibu kepala sekolahku yang berhati emas (Golden Heart), beliu sangat bijaksana sekali dan pengertian sekali dengan kondisiku pada saat itu. Beliu mengijinkan diriku untuk bekerja membawa anak ke sekolah. Walau tidak menutup kemungkinan, masih tetap saja ada yang pro dan kontra dengan kebijakan beliu, dan memandang sebelah mata kepadaku karena membawa anak ke sekolah. Tapi syukurnya lebih banyak yang mendukung, ketimbang yang menentang. Tapi hal biasa terjadi seperti itu dalam kehidupan, apalagi dalam dunia kerja. Tetapi hal-hal seperti itu, tidak kumasukan ke hati atau kupikirkan lebih dalam karena bagiku, jika sudah mendapat ijin atau restu dari pimpinan, omongan-omongan orang yang tidak menyenangkan itu, tidak berarti lagi bagi diriku, yang penting diriku tetap melaksanakan tanggung jawabku sebagai guru yaitu sebagai pendidik dan pengajar, tetap profesional dalam bekerja walau terbatas oleh faktor keadaan karena membawa anak dalam bekerja. Dan bisa dibayangkan, bagaimana repot dan sulitnya  bekerja antara, membagi tugas dan tanggung jawab sekaligus,  mendidik, mengajar dan sambil menjaga anak yang masih kecil, yang baru bisa berjalan dan menyusui. Dua pekerjaan dilakukan sekaligus bersamaan, menjadi sosok ibu “Multitasking”.  Namun, alhamdulillah  hal-hal tersebut bisa diatasi selama tiga tahun lamanya karena anakku dibawa bekerja dari dia berumur delapan belas bulan sampai berusia lima tahunan, ketika dia memasuki ke jenjang sekolah yaitu Taman Kanak-kanak (TK), baru anakku sudah jarang dibawa kesekolah karean dia sudah memasuki jenjang pendidikan.

       Suatu pengalaman yang tak terlupakan dan berharga pada saat itu, berkerja sambil membawa anak, tapi alhamdulillah putraku tercinta sangat kooperatif sekali, dia tahu kondisi dan keadaan ibunya pada saat itu. Selama bekerja jarang mengalami hal-hal biasa terjadi pada anak usia Batita pada umumnya yaitu biasanya rewel, agresif dan sering meminta perhatian yang lebih. Yang terkadang menguji tingkat kesabaran. Anakku sangat mengerti sekali kondisi ibundanya yang berkerja mencari nafkah. Karena kondisi perekonomian keluargaku pada saat itu, bisa dikatakan masih cukup memprihatikan, karena masih baru berumah tangga, di mana masih merintis semua dari awal. Oleh karena itu, menuntutkku untuk mencari tambahan penghasilan lagi selain memenuhi amanah dari orangtua yaitu ibundaku tercinta. Menjadi seorang yang  “Perempuan”  yang kuat dan mandiri”.
Pengalaman yang tak terlupakan baik diriku dan anakku, ketika di usia masih batita, anakku ikut bekerja. Di mana seusia itu, anak kecil berada di lingkungan rumah, tapi ini justru sebaliknya, tumbuh kembangnya lebih banyak dan dihabiskan masa kecilnya di lingkungan kerja, di sekolah tempat ibundanya bekerja. Dan terkadang, akibat faktor terbiasa melihat dan mengalami, dia bersikap dan bertingkah laku layaknya seorang guru, dan ssampai di gelari “Bapak Guru Termuda” . Sepertinya pada saat ibunya mengajar di depan kelas, dia ikut serta maju ke depan kelas juga, menjelaskan atau menerangkan, dengan membawa spidolnya seakan-akan dia adalah seorang guru. Ataupun duduk di bangku anak murid, sambil menulis dengan pensilnya. Bersikap dan bertingkah laku layaknya seorang murid. Jadi tidak hanya di gelari guru termuda tapi juga “Anak murid Termuda” .  Jadi, bisa dikatakan tempat bekerjaku di sekolah dasar ini adalah “sekolah pertama” anakku karena tanpa di ajari atau di didik, dia terbiasa dengan itu semua. Bukan sekolah pertamanya di Taman kanak-kanak (TK) tapi di tempat bekerja ibundanya. Jadi, banyak sekali gelar yang diperoleh oleh anakku selama ikut bekerja dengan ibundanya. Hal ini terjadi, akibat dari faktor kebiasaaan yang dilihatnya setiap hari. Di mana ibundanya bekerja menjadi seorang guru. Namun, terkadang ada perasaan sedih dihatiku, seharusnya tumbuh kembangnya di masa kecil dihabiskan di rumah, tapi ini justru sebaliknya di tempat kerja. Tapi itulah hidup, dimana kita  harus memilih. Dan tetap harus “Tersenyum” dalam menjalaninya.

       Di sekolah dasar ini lah,  anakku besar dan tumbuh kembangnya banyak dihabiskan  di sini, di tempat bekerja ibundanya. Dan itu dialami selama kurang lebih tiga tahun lamanya karena dari delapan belas bulan sampai dia berusia lima tahun. Baru setelah anakku masuk sekolah  Taman Kanak-kanak, tidak lagi ku bawa rutin ke tempat kerja, karena waktu di belajar di sekolah Taman Kanak-kanaknya setengah hari, jadi ketika aku selesai bekerja, mengajar di sekolah dasar, anaku bisa berkumpul kembali di rumah. Kecuali jika masuk siang dan pulang sore, baru serta merta anak di bawa ikut serta bekerja. 
Selama bertahun-tahun, diriku terbiasa dengan segala kerepotan di pagi hari setiap harinya. Jika seorang wanita bekerja membawa tas cukup satu, tapi tidak bagiku. Setiap hari, harus membawa dua atau tiga tas karena membawa segala keperluan yang dibutuhkan selama satu hari bekerja. Apalagi jika bekerjanya seharian dari pagi sampai sore. Karena terkadang, ada hari-hari tertentu, jadwal mengajarku dari pagi sampai sore. Jadi, lebih banyak lagi bekal yang di siapkan, mulai dari pakaian gantinya, popok, susu dan botol susunya, dan juga mainnya, yang dibawa untuk mengatasi kejenuhannya di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana kerepotan yang dialamiku pada saat itu, menjadi ibu multitasking, tidak hanya menjadi ibu guru tapi juga ibu dari seorang putra beriusia delapan belas bulan. Tapi ketika semua itu di dasari dari “  Ketulusan dan Keikhlasan” kerepotan dan beban berat itu bisa diatasi dan terasa ringan. 

        Suatu pengalaman yang tak terlupakan karena merasakan bagaimana saat itu, membagi tugas dan tanggung jawab antara pekerjaan sebagai pengajar dan pendidik, dan juga sebagai orang tua, ibu dari yang memiliki seorang putra yang masih kecil. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya. Tapi alhamdulillah kondisi dan situasi itu bisa diatasi karena anakku tercinta sangat kooperatif sekali selama bekerja. Dia bisa tahu dan sangat memahami bagaimana ibunya harus bekerja mancari nafkah, sehingga kerewelan seorang anak yang biasanya pada saat usia batita seperti itu biasanya rewel, agresif dan sering mencari perhatian, tidak begitu ku alami padaa saat itu. Tuhan Maha Tahu bagaimana kondisi dan keadaan hambaNya.  Walaupun terkadang cukup melelahkan, bekerja sambil menjaga anak bersamaan, belum lagi terkadang ada kalanya orang memandang sebelah mata atau tatapan kasihan jika melihat seorang ibu membawa anaknya ikut bekerja, ada  yang merasa terganggu, atau tidak suka, tapi hal-hal begitu kuanggap angin lalu saja, ibarat pepatah “ Masuk kanan, keluar kiri”. Prinsipku dengan anak berada dekat dengan diriku, apalagi melihat tawa cerianya, terbayar semua perasaan tidak nyaman itu.  Justru sebaliknya dengan membawa anak ikut serta bekerja, membawa rasa aman dan kebahagian tersendiri, yang tidak bisa diungkapankan dengan kata-kata. 

        Keputusanku membawa anak ke tempat kerja yaitu ikut serta diriku mengajar di sekolah, bisa dikatakan diriku sebagai pionernya karena jejakku ini, akhirnya membuka jalan yang lainnya untuk berani mengikuti jejakku, membawa anak ke sekolah. Kebetulan selang satu tahun kemudian, ada juga guru perempuan di tempat aku bekerja, juga habis melahirkan, kemudian dia juga sama seperti diriku, membawa anak yang masih bayi ke sekolah. Tapi syukur alhamdulillah, pimpinan sekolahku yaitu ibu kepala sekolah memiliki sikap yang bijaksana, beliu tetap mengijinkan kami membawa anak ke sekolah, jadi ada dua guru di sekolahku dulu yang sama-sama membawa anak ke sekolah bekerja. Dan beliu sangat baik hati sekali, sampai kami di sediakan khusus ruangan yang sebelumnya itu adalah perpustakaan tapi kami bisa diberi ruang sedikit, untuk tempat kami bisa menyusui anak kami atau bisa dikatakan ruang Laktasi. Dan kami pun disediakan ayunan, dimana kami bisa bergantian untuk menidurkan anak kami jika, salah satu dari kami, mempunyai jadwal mengajar sampai sore hari. Jadi, bisa bergantian untuk menidurkan anak pada saat waktunya tidur siang. Tapi ada kalanya, anakku tidur di kelas, dan hal itu biasa terjadi, walau kadang terkesan menyedihkan, karena anaku biasanya ku tidurkan di meja kelas yang ku susun di belakang. Tapi diriku merasa sangat beruntung sekali, karena memiliki anak-anak murid yang berhati malaikat. Mereka bisa mengerti kondisi ibu gurunya pada saat itu. Mereka tidak ribut atau membuat kegaduhan, padahal biasanya mereka ribut di kelas, apalagi jika mengajar di kelas dua dan tiga, tapi mereka sangat pengertian dan baik hati sekali. 

       Moment-moment tersebut adalah moment yang tak terlupakan, kenangan yang indah bersama anak kandung sendiri dan anak-anak muridku, karena memiliki anak murid yang berhati emas “ Golden Heart” . Di usianya mereka yang masih muda belia tapi mereka memiliki hati seluas samudra, memiliki pemikiran yang bijaksana dan dewasa sebelum waktunya. Bisa bersikap “peka” untuk memahami kondisi ibu gurunya pada saat itu. 
Jadi, bisa dikatakan tempat sekolah di mana aku bekerja sebagai pengajar di sekolah dasar ini, adalah “Rumah Keduaku” karena hampir sebagian waktu sehari-hari , kuhabiskan di sekolah, begitu juga dengan anakku. Tumbuh kembangnya juga lebih banyak di sekolah ini, tempat di mana ibundanya bekerja. Jadi, bisa dikatakan juga, sekolah pertama anaku bukanlah Taman Kanak-kanak  (TK), tapi di sekolah dasar ibundanya bekerja sebagai guru.
Bersyukur sekali, diriku bekerja sebagai pengajar di sekolah dasar ini, adalah sekolah ramah guru. Dalam artian mengijinkan diriku bekerja membawa anak ke sekolah. Alhamdulillah berkat dijinkan membawa anak ke sekolah, tumbuh kembang anakku bisa ku pantau selalu dan kunikmati tahapan-tahapan fase tumbuh kembangnya tanpa terlewatkan satu pun dan itulah “Anugrah Terindah “ dalam hidupku,  karena anak adalah “Master Piece” dari Tuhan. Jadi, jika kita mengabaikannya, sama halnya kita menyia-nyiakan pemberian dari Tuhan itu. Seperti salah satu kutipan bijak yang saya suka dan selalu saya tanamkan dalam diri saya dari  salah satu tokoh psikolog Dr. James C Dobson, beliu berkata  “ Anak bukan tamu biasa di rumah kita. Mereka telah dipinjamkan untuk sementara waktu kepada kita dengan tujuan Mencintai mereka dan menanamkan nilai-nilai dasar untuk kehidupan masa depan yang akan mereka bangun”. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kita menyia-nyiakan setiap detik fase-fase tumbuh kembangnya dilewatkan begitu saja, sedangkan kita hanya larut dalam bekerja. Yang ada hanyalah tinggal penyesalan yang sia-sia. Kita mengorbankan anak kita sendiri demi kepentingan diri sendiri. 
      Untuk itu besar harapanku kedepannya, pemerintah membuat kebijakan ataupun peraturan, di mana kebijakan tersebut, mengijinkan para orangtua yang berprofesi guru, baik itu ibu maupun bapak guru, diijinkan atau diperbolehkan membawa anaknya bekerja ke sekolah, dimana mereka mengabdikan dirinya sebagai pengajar dan pendidik di sekolah tersebut atau dengan kata lain “Sekolah Ramah Guru”. Dan tidak lupa kuhaturkan terima kasih tak terhingga kepada sekolahku yang dulu aku bekerja, khususnya ibu kepala sekolah SDN 031 Samarinda yang sangat bijaksana dan juga rekan-rekan kerja yang lainnya, bapak dan ibu guru atas dukungan dan pengertiannya, mengijinkan diriku bekerja membawa anak ke sekolah. Semoga kebaikan kalian semua dibalas oleh Allah SWT. Dan harapan kedepannya, semoga semakin banyak di negeri tercintaku ini, tumbuh Sekolah-sekolah Ramah Guru bertaburan dimana pun di seluruh pelosok Indonesia tidak hanya di pedesaan tapi juga diperkotaan. 


#ThePowerOf Emak
#ThePowerOfTeacher 

Tidak ada komentar:

Puisi IKN Oleh Linda Haryati

Membiru Langitku di IKN Oleh Linda Haryati Selangkah demi selangkah Jejak langkah kutinggalkan Menampak jejak yang terpatri Di langit biru N...