Kamis, 04 November 2021

Pelangi Di Masa Corona

Pelangi di Masa Corona




Pandemi virus Corona atau Covid-19 ini hampir mengubah cara manusia di dunia ini melakukan aktivitasnya, termasuk aktivitas belajar mengajar yang biasa dilakukan dengan datang ke sekolah dan bertemu guru juga teman-teman. 
Kini aktivitas tersebut pun diganti dengan metode Daring (Dalam Jaringan) dengan sebutan bermacam-macam dari PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) ataupun Belajar Dari Rumah (BDR), yang pada intinya adalah pembelajaran dilakukan secara online atau virtual. Dengan bantuan berbagai macam aplikasi pembelajaran yang digunakan dari Google Classroom, Rumah Belajar, Zoom Cloud Meeting, Cisco webex, Google Meeting, sampai aplikasi yang paling banyak digunakan dan sederhana yaitu WhatssApp (WA, Telegram dan masih banyak lagi plaform-plaform yang digunakan, khususnya plaform yang ramah kouta.
Demi memutus rantai penyebaran Covid-19, pembelajaran Daring ini sudah berlangsung dari bulan Maret 2020 kemarin, sudah hampir sembilan bulan dijalani para pelajar, mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, menerapkan proses belajar dari rumah. Kondisi ini tentu membuat perubahan terjadi di berbagai lini kehidupan, termasuk peran orangtua dalam pendampingan.
Sekolah saya pun dimana saya berkerja juga melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tersebut, sesuai aturan atau instruksi dari pemerintah, bahwa dalam keadaan darurat Covid-19 proses belajar mengajar dilaksanakan secara online (virtual). Banyak pengalaman dan pelajaran yang saya alami selama PJJ ini dan bisa saya ambih hikmahnya dari ujian musibah ini seperti layaknya pelangi yang berwarna warni, begitu juga suka-duka yang dialami dan dirasakan selama masa pandemi Covid-19. Namun, harus kita yakini, setiap musibah atau ujian yang kita hadapi saat ini, bisa jadi pada akhirnya ada Pelangi Kehidupan yang bisa kita lihat setelah musibah ini terjadi.  
 Selama masa pandemi Covid-19 ini, dimana sebagian orang beranggapan pekerjaan “Guru” mendadak menjadi pekerjaan yang dipandang sebelah mata, ada yang beranggapan menjadi guru di masa pandemi, guru hanya makan gaji buta, tidak mengajar secara tatap muka tapi mendapat gaji. Padahal kenyataatnya sebaliknya, justru dua kali lipat pekerjaan dan beban yang harus diemban, terlebih lagi jika menjadi orangtua merangkap jadi guru. Dimana tidak hanya mendidik dan mengajar anak didik, namun juga untuk anak-anaknya, seperti yang terjadi dengan saya sendiri.  Keadaan yang menuntut menjadi guru yang multitasking dalam satu waktu bersamaan yaitu mengurus pekerjaan rumah tangga, mengurus pekerjaan di sekolah yang berpindah ke rumah karena diterapkannya WFH (Work From Home). Namun,  juga bekerja sebagai guru di rumah bagi anak-anak saya sendiri,  mendampingi mereka belajar dirumah, apalagi jika ada anak yang bersekolah masih duduk dibangku Taman Kanak-Kanak (TK), lebih banyak membutuhkan pengawasan dan ekstra perhatian dalam mendidik dan mengajarnya, berbeda jika anak di bangku yang lebih tinggi lagi seperti di jenjang menengah ke atas, tidak terlalu banyak menyita waktu kita untuk mendampingi selama proses belajar dan kedua anak saya, ada yang  bersekolah di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Jadi, bisa dikatakan “mendaring dan di daring”, mendaring murid saya dan di daring oleh guru yang mengajar anak-anak saya. 
Berbagai keterbatasan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat ditengah pandemi Covid-19 ini. Salah satu yang paing terpengaruh wabah ini adalah aktivitas belajar-mengajar di sekolah. Baik siswa dan guru, kedua pihak terdampak cukup besar dengan adanya Covid-19 ini. Berbagai kebijakan diambil pemerintah mulai dari belajar dari rumah hingga menghapus Ujian Nasional  (UN). 
Penghapusan UN diapresiasi banyak pihak pada tahun ini, siswa SMA/K menjadi yang terakhir merasakan UN. Sedangkan tingkat SD, SMP seharusnya tahun depan, tetapi karena pandemi Corona ini, mendadak dihapus lebih cepat sebelum rencana sebelumnya. Sehingga angkatan lulusan tahun ini, digelari “Angkatan Corona”. Terdengar miris mendengarnya dengan sebutan tersebut, karena anak tertua saya pun lulus pada tahun ini di jenjang Sekolah Menengah Pertama. Angkatan lulusan yang terkenang sepanjang masa, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh penjuru dunia karena hampir seluruh pelajar di dunia, kini sama mengalami pandemi Covid-19 ini. Angkatan lulusan yang usai sebelum waktunya, istirahat bukan pada jamnya, tamat tiba-tiba dan menjadi alumi mendadak yang harus berpisah tanpa ada acara ceremonial atau pesta perpisahan pada biasanya. Namun, menurut saya lulusan 2020 adalah “Angkatan Emas” karena angkatan yang membanggakan, mereka lulus tahun ini, seharusnya terlatih lebih tegar secara mental dan emosi. Mereka yang dipaksa secara adaptif terhadap perubahan. Pandemi Corona  ini memang telah mengubah banyak hal dan kita dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Suka duka selama PJJ dimasa pandemi Corona ini juga saya alami sendiri sebagai guru dan juga sebagai “Ibu” bagi anak kandung saya sendiri. Ketika menghadapi Ujian Sekolah (US) yang dilaksanakan oleh sekolah, karena pemerintah pusat menyerahkan kebijakan ke daerah masing-masing, sehingga sekolah kami pun juga melaksanakan Ujian Sekolah (US). Biasanya ujian dilaksanakan di sekolah, walau tetap sistemnya secara online. Namun, karena wabah Covid-19 ini, sehingga pelaksanaan ujian pun diadakan di rumah secara online. Dibutuhkan kerja keras dan kesabaran yang luar biasanya dalam membimbing dan mengawasi ujian secara online dari rumah masing-masing. Banyak problematikanya yang dihadapi dari guru maupun murid, mulai fasilitas yang tidak mendukung seperti tidak mempunyai Handhone, Laptop/Komputer, pemakaian Handphone bersama, keterbatasan kouta, permasalahan jaringan dan permasalah yang timbul dari murid itu sendiri seperti yang saya alami, hampir setiap hari saya menjadi “Alarm Hidup” untuk beberapa murid saya, membangunkan mereka dengan cara menelpon mereka pada pagi hari agar tidak terlambat mengikuti Ujian Sekolah, karena ada beberapa murid saya kedisplinan dirinya kurang dari segi waktu, sehingga selalu terlambat untuk mengikuti ujian dan juga kurangnya perhatian  dan dukungan dari keluarga dari anak  murid tersebut,  sehingga tidak terlalu memperhatikan ketika anaknya sedang melaksanakan ujian.
Selain mengawasi anak murid  ujian, saya pun juga harus berbagi perhatian kepada anak saya sendiri yang juga bersamaan ujian sekolah, terkadang anak kandung sendiri harus dikalahkan demi anak bangsa. Dilema memang harus memilih, namun sebisa mungkin saya harus bisa bersikap adil terhadap anak kandung sendiri dan anak bangsa. 
Permasalahan lain yang sering dihadapi, yaitu permasalahan jaringan karena tidak semua daerah, jaringan internetnya stabil, walau tinggal berada diperkotaan, bahkan ada  blank spot  (tidak ada jaringan) sama sekali diwilayahnya. Seperti yang terjadi anak murid saya sendiri, mereka harus berjalan kaki dulu lumayan jauh mencari  titik yang terdapat signal internet, bahkan ada yang harus  mencari ketinggian atau naik ke atas gunung, hanya sekedar untuk mencari signal internet. Kemudian permasalahan lainnya yaitu keterbatasan sarana dan prasarana yakni tidak memiliki Handphone atau penggunaan handphone bersama, satu handphone digunakan oleh orangtua, dan anak-anaknya. Seperti yang dialami oleh murid saya sendiri, hanphone tersebut dipakai oleh orangtuanya bekerja, dia dan adiknya bersama menggunakan, bisa dibayangkan bagaimana kerepotannya menggunakan secara bersamaan dan bergantian.  Kemudian ada juga yang tidak memiliki Handphone, sehingga anak tersebut harus menyewa seperti layaknya di Warnet, harus mengeluarkan uang per jam ketika menggunakan handphone tersebut. Permasalahan lainnya lagi yaitu menyangkut kouta, karena tidak semua latar belakang ekonomi dari murid-murid kami disekolah yang pada umumnya perekonomiaannya berada rata-rata menengah kebawah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susah, apalagi untuk membeli kouta sedangkan dengan dampak Covid-19 ini banyak orang-orang mengalami resign atau dirumahkan. Anak-anak murid pun sering mengeluh ketika pemakaian kouta yang semakin meningkat dan sekarang beban itu mulai terkurangi dengan adanya bantuan kouta belajar dari pemerintah baik untuk dosen, guru maupun murid.
Selama pandemi Corona ini, murid juga merasa jenuh berada dirumah dan mereka ingin kembali ke sekolah, belajar seperti biasanya. Mereka ingin bertemu dengan teman-temannya, belajar bersama, bermain bersama dan juga mereka rindu dengan guru-gurunya. 
Selama pembelajaran online yang berlangsung sembilan bulan ini, semakin hari semakin mengalami penurunan baik dari segi kehadiran, pengumpulan tugas-tugas, hal ini mungkin disebabkan karena mereka sudah mengalami titik jenuh, kejenuhan itu pun tidak hanya dirasakan oleh murid namun juga guru, tetapi karena menjadi guru itu adalah “Panggilan Jiwa” jadi ketika kejenuhan melanda, sebisa mungkin untuk bisa diatasi dengan hati ikhlas.
Berkaitan dengan pesan Menteri Pendidikan, dalam Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pembelajaran Saat Pandemi Covid-19 ini. Kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum serta difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, antara lain mengenai pandemi Covid-19 ini. Materi pembelajaran bersifat inklusif sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan, konteks budaya, penanaman karakter dan jenis kekhususan peserta didik.
Jadi, hal yang paling penting sebagai guru harus mengedepankan pola interaksi dan komunikasi yang positif dengan orangtua dan murid serta mempertimbangkan akses BDR dan tetap fokus pada pendidikan karakter para peserta didik. Menjadi momentum untuk meningkatkan kompetensi para guru untuk melakukan proses pembelajaran secara fleksibel, kreatif dan inovatif. Serta momentum bagi keluarga untuk lebih banyak berkumpul bersama, dimana sebelum wabah Corona ini melanda, mungkin jarang untuk berkumpul. Jadi, selalu ada hikmah atau nilai positif yang bisa dipetik dari musibah Covid-19 ini.
Dengan adanya moment wabah Corona Virus Disease-19 ini, mengundang kita untuk menyatakan jati diri kita. Bahwa kita tidak boleh berpasrah diri dan hanya mengeluh menghadapi pandemi ini. Untuk melihat penderitaan sebagai realita kehidupan yang tidak bisa ditolak, kita harus merubah cara pandang dalam menghadapinya, terutama sebagai guru. Seyogyanya membuat kita dapat melihat sesuatu yang baik di balik penderitaan atau musibah virus Corona ini, karena di dalam yang baik selalu ada yang buruk, dan di dalam yang buruk selalu ada yang baik dan berharap semoga pandemi Corona ini segera berlalu, sehingga kehidupan kembali normal seperti sedia kala begitu juga dalam proses belajar mengajar.     



Tidak ada komentar:

Puisi IKN Oleh Linda Haryati

Membiru Langitku di IKN Oleh Linda Haryati Selangkah demi selangkah Jejak langkah kutinggalkan Menampak jejak yang terpatri Di langit biru N...